JAKARTA, Cobisnis.com – Petani kedelai Amerika Serikat menghadapi krisis serius menjelang musim panen setelah China, pembeli terbesar mereka, tidak mencatatkan satu pun pesanan tahun ini. Kondisi ini menandai pertama kalinya dalam sejarah perdagangan kedelai AS kehilangan pasar terbesar yang biasanya menyerap seperempat produksi tahunan.
China sebelumnya membeli lebih banyak kedelai AS dibanding gabungan seluruh pembeli asing lain. Namun, pada 2025, permintaan dari Negeri Tirai Bambu nol, memperparah tekanan yang sudah ada. Harga kedelai kini 40% lebih rendah dibanding tiga tahun lalu, sementara biaya produksi dan bunga pinjaman terus meningkat.
Harga kontrak berjangka September hanya sekitar US$10,10 per bushel, lebih rendah dari biaya produksi US$11,03. Banyak petani kini menanam dalam kondisi merugi. Presiden American Soybean Association, Caleb Ragland, mengaku usahanya sendiri menanggung kerugian hingga US$750.000 dan bergantung pada pinjaman untuk bertahan.
Krisis ini memengaruhi 500.000 petani kedelai di AS dan berpotensi berdampak sistemik. Pertanian menyumbang 18,7% dari PDB AS atau sekitar US$9,5 triliun per tahun, serta menopang lebih dari sejuta lapangan kerja. Ekspor kedelai sendiri mendukung lebih dari 231.000 pekerjaan di sektor pertanian, manufaktur, logistik, hingga usaha kecil pedesaan.
Penyebab utama krisis adalah tensi dagang AS–China. Kedelai AS dikenai tarif balasan hingga 34%, membuat posisinya kalah bersaing dengan Brasil. Data terbaru menunjukkan China justru mencatat rekor impor kedelai dari Brasil, yakni 15,7 juta ton pada Maret 2025, dengan tiga perempatnya dikirim ke China. Pada 2024, 71% impor kedelai China sudah berasal dari Brasil.