JAKARTA, Cobisnis.com - Penerapan tarif 19 persen oleh Amerika Serikat kepada produk dari Indonesia telah mulai berlaku pada 7 Agustus 2025 berpotensi memberikan tekanan terhadap kinerja ekspor Indonesia.
Adapun kondisi ini menimbulkan kekhawatiran karena dapat berdampak pada posisi cadangan devisa nasional karena cadangan devisa turut ditopang oleh Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang disetor oleh para eksportir di dalam negeri.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyampaikan penurunan tarif AS atas produk Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari potensi Trade War 2.0, mengingat AS merupakan pasar ekspor terbesar kedua Indonesia.
"Namun, ketegangan perdagangan global kemungkinan tetap akan membebani ekspor, terlebih ekspor semester pertama 2025 sempat melonjak akibat aksi pembelian di muka menjelang penerapan tarif tersebut, sehingga berpotensi mengalami normalisasi di paruh kedua tahun ini," ujarnya dalam keterangannya, Jumat, 8 Agustus.
Dari sisi impor, ia menyampaikan, kebijakan tarif 0 persen terhadap produk AS diperkirakan akan mendorong peningkatan permintaan atas barang AS, khususnya minyak, barang modal, dan kedelai.
Selain itu, Josua menyampaikan, komitmen Indonesia dalam kesepakatan bilateral dengan AS untuk meningkatkan impor energi, produk pertanian, dan pesawat Boeing juga diperkirakan turut mendongkrak impor.
Menurut dia, pergeseran fokus perdagangan Tiongkok ke pasar Afrika dan ASEAN juga berkontribusi menjaga pasokan ekspor global tetap tinggi, sehingga memberikan tekanan tambahan terhadap peningkatan impor Indonesia.
"Kombinasi faktor tersebut berpotensi menyebabkan penurunan kontribusi ekspor netto terhadap pertumbuhan ekonomi, sejalan dengan perkiraan kami bahwa pertumbuhan impor akan lebih tinggi dibanding ekspor," jelasnya.
Selain itu, ia menyampaikan, masuknya aliran modal portofolio dapat membantu menjaga stabilitas cadangan devisa.
Josua menyampaikan sejak awal tahun, pasar obligasi (SBN) Indonesia tercatat mengalami aliran dana masuk bersih, didukung oleh kondisi makroekonomi domestik yang kuat.
Di pasar saham, kebijakan pemerintah dan BI yang berorientasi pada pertumbuhan juga berpotensi menarik aliran dana masuk tambahan.
Selain itu, Josua menambahkan, meningkatnya ekspektasi penurunan suku bunga oleh The Fed diharapkan akan mendorong sentimen global ke arah risk-on.
"Kami mempertahankan proyeksi cadangan devisa Indonesia pada kisaran 153 miliar dolar AS–157 miliar dolar AS hingga akhir tahun 2025, dibandingkan 155,72 miliar dolar AS pada akhir 2024," ujarnya.
Sementara itu, ia menyampaikan untuk nilai tukar rupiah diprediksi bergerak pada kisaran Rp16.100–Rp16.300 per dolar AS pada akhir tahun 2025, relatif stabil dibandingkan posisi Rp 16.102 per dolar AS pada akhir tahun sebelumnya.
Adapun kondisi ini menimbulkan kekhawatiran karena dapat berdampak pada posisi cadangan devisa nasional karena cadangan devisa turut ditopang oleh Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang disetor oleh para eksportir di dalam negeri.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyampaikan penurunan tarif AS atas produk Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari potensi Trade War 2.0, mengingat AS merupakan pasar ekspor terbesar kedua Indonesia.
"Namun, ketegangan perdagangan global kemungkinan tetap akan membebani ekspor, terlebih ekspor semester pertama 2025 sempat melonjak akibat aksi pembelian di muka menjelang penerapan tarif tersebut, sehingga berpotensi mengalami normalisasi di paruh kedua tahun ini," ujarnya dalam keterangannya, Jumat, 8 Agustus.
Dari sisi impor, ia menyampaikan, kebijakan tarif 0 persen terhadap produk AS diperkirakan akan mendorong peningkatan permintaan atas barang AS, khususnya minyak, barang modal, dan kedelai.
Selain itu, Josua menyampaikan, komitmen Indonesia dalam kesepakatan bilateral dengan AS untuk meningkatkan impor energi, produk pertanian, dan pesawat Boeing juga diperkirakan turut mendongkrak impor.
Menurut dia, pergeseran fokus perdagangan Tiongkok ke pasar Afrika dan ASEAN juga berkontribusi menjaga pasokan ekspor global tetap tinggi, sehingga memberikan tekanan tambahan terhadap peningkatan impor Indonesia.
"Kombinasi faktor tersebut berpotensi menyebabkan penurunan kontribusi ekspor netto terhadap pertumbuhan ekonomi, sejalan dengan perkiraan kami bahwa pertumbuhan impor akan lebih tinggi dibanding ekspor," jelasnya.
Selain itu, ia menyampaikan, masuknya aliran modal portofolio dapat membantu menjaga stabilitas cadangan devisa.
Josua menyampaikan sejak awal tahun, pasar obligasi (SBN) Indonesia tercatat mengalami aliran dana masuk bersih, didukung oleh kondisi makroekonomi domestik yang kuat.
Di pasar saham, kebijakan pemerintah dan BI yang berorientasi pada pertumbuhan juga berpotensi menarik aliran dana masuk tambahan.
Selain itu, Josua menambahkan, meningkatnya ekspektasi penurunan suku bunga oleh The Fed diharapkan akan mendorong sentimen global ke arah risk-on.
"Kami mempertahankan proyeksi cadangan devisa Indonesia pada kisaran 153 miliar dolar AS–157 miliar dolar AS hingga akhir tahun 2025, dibandingkan 155,72 miliar dolar AS pada akhir 2024," ujarnya.
Sementara itu, ia menyampaikan untuk nilai tukar rupiah diprediksi bergerak pada kisaran Rp16.100–Rp16.300 per dolar AS pada akhir tahun 2025, relatif stabil dibandingkan posisi Rp 16.102 per dolar AS pada akhir tahun sebelumnya.