Jamkrindo

Gaji Pemulung di Swedia Tembus Rp 50 Juta, Begini Faktanya

Oleh M.Dhayfan Al-ghiffari pada 22 Oct 2025, 05:15 WIB

Refuse collector and refuse truck in street

JAKARTA, Cobisnis.com – Kalau di Indonesia profesi pemulung masih sering dipandang sebelah mata, di Swedia justru sebaliknya. Pekerjaan sebagai pengumpul sampah di negara itu dianggap profesi penting dan digaji tinggi, setara dengan pekerja kantoran.

Rata-rata gaji pengumpul sampah di Swedia mencapai sekitar SEK 32.700 per bulan, atau setara Rp 49–52 juta dengan kurs saat ini. Angka ini sedikit di bawah rata-rata pendapatan nasional Swedia, yaitu SEK 38.000 per bulan, tapi tetap tergolong layak dan stabil untuk biaya hidup setempat.

Para pekerja ini bukan pemulung jalanan seperti di banyak negara berkembang, melainkan bagian dari sistem resmi pengelolaan limbah. Mereka dipekerjakan oleh pemerintah kota atau perusahaan energi yang memanfaatkan sampah sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

Artinya, profesi pengumpul sampah di Swedia bukan sekadar pekerjaan kasar, tapi termasuk bagian dari sistem energi bersih yang menopang kebutuhan rumah tangga. Hampir seluruh limbah rumah tangga diolah menjadi listrik atau panas, dan para pekerja ini memegang peran kunci dalam rantai tersebut.

Setiap hari mereka bertugas mengoperasikan truk sampah, mengumpulkan limbah rumah tangga, memilah daur ulang, dan memastikan seluruh sampah diproses dengan standar tinggi. Meski harus bekerja dalam cuaca ekstrem seperti salju tebal atau suhu di bawah nol, sistem keselamatan kerja di sana tergolong sangat baik.

Selain gaji pokok, pekerja juga mendapat tunjangan kesehatan, asuransi kerja, serta jam kerja tetap. Tak sedikit yang naik jabatan jadi supervisor atau operator fasilitas daur ulang setelah beberapa tahun pengalaman.

Pemerintah Swedia memang menempatkan pengelolaan limbah sebagai bagian penting dari kebijakan energi hijau nasional. Negara ini bahkan mengimpor sampah dari negara tetangga seperti Norwegia dan Inggris untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar pembangkitnya.

Sistem ini membuat profesi pengumpul sampah mendapat penghargaan sosial yang cukup tinggi. Mereka dipandang sebagai pekerja lingkungan, bukan “pemulung” dalam arti negatif. Banyak masyarakat muda yang tertarik karena pekerjaan ini stabil dan memberi manfaat nyata bagi keberlanjutan bumi.

Dibandingkan dengan negara berkembang, kesenjangan status sosial antara pekerja lapangan dan pekerja kantoran di Swedia juga lebih kecil. Hal ini sejalan dengan prinsip egaliter masyarakat Nordik yang menekankan kesetaraan dan keadilan kerja.

Kisah ini menunjukkan bahwa nilai sebuah pekerjaan bukan cuma di apa yang dikerjakan, tapi juga di cara masyarakat menghargainya. Di Swedia, bahkan pekerjaan yang identik dengan “sampah” bisa berubah jadi simbol penghormatan terhadap lingkungan dan kerja keras.